Setelah Umar bin Khaththab radiyyalahu ‘anhu dapat menenangkan kembali dirinya dari kesedihan
berlebihan atas wafatnya Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam, sahabat Abu Bakar radiyyalahu
‘anhu berkata kepada Umar, “Sesungguhnya harus ada yang menggantikan
tentang urusan umat ini. Ketahuilah wahai Umar, sesungguhnya Banu Sa’adah telah
sepakat untuk menjadikan pemimpin mereka Sa’ad bin Ubadah menjadi khalifah,
marilah kita menuju ke tempat mereka.”
Maka berangkatlah Abu Bakar dan Umar ke sakifah (pemukiman) Banu Sa’adah yang termasuk dari kaum Anshar,
yaitu yang telah menjadi penduduk Madinah (Yastrib) sejak nenek moyang mereka.
Sedangkan Abu Bakar dan Umar, keduanya termasuk kaum Muhajirin yang ikut
berhijrah dari Makkah ke Madinah.
Ketika Abu Bakar dan Umar radiyallahu ‘anhuma sampai ke sakifah
Banu Sa’adah, mereka semua sudah berkumpul melingkar dan pemimpin mereka Sa’ad
bin Ubadah berada ditengah-tengah dalam keadaan berselimut seperti orang yang
menggigil kedinginan.
Setelah mengucapkan salam dan tahmid, Abu Bakar berkata
kepada yang hadir di sana, “Hendaknya yang menjadi khalifah itu dari kalangan Muhajirin
karena merekalah yang pertamakali beriman.”
Mereka yang hadir dari kalangan Anshar itupun menjawab
perkataan Abu Bakar dengan satu bantahan, “Justru yang seharusnya menjadi
khalifah itu adalah dari kalangan Anshar karena besar jasa mereka terhadap
tegaknya dinul Islam di muka bumi
ini. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam diancam akan dibunuh oleh kaumnya, kamilah yang melindunginya dan
berjanji untuk melindungi beliau sampai tetes darah yang terakhir dalam
peristiwa baeatul Aqabah, sehingga orang-orang musyrikin Quraisy tidak berani
melanjutkan ancaman mereka. Dan ketika kaumnya mengusir Rasulullah dan umatnya
dari rumah-rumah mereka sendiri, maka kamilah yang memberinya tempat bersama
orang-orang yang berhijrah bersamanya dan menjadikan mereka saudara kami. Maka
kaum Ansharlah yang berhak menjadi khalifah bagi kaum muslimin seluruhnya.”
Mendengar bantahan Banu Sa’adah tersebut, Umar bin Khattab
berkata, “Tidakkah menjadi isyarat bagi kalian ketika Rasulullah menunjuk Abu
Bakar untuk menjadi imam salat menggantikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam saat beliau menderita sakit beberapa
waktu yang lalu?”
Namun, pertanyaan Umar tidak juga dapat menahan keinginan Banu
Sa’adah untuk menjadikan pemimpin mereka menjadi khalifah sebagai pengganti
Rasulullah dalam memimpin umat dan keadaan pun menjadi tegang dan panas.
Melihat situasi berubah menjadi panas, maka sahabat Abu Bakar berupaya untuk menengahi dengan menarik tangan Umar dan Sa’ad bin Ubadah, lalu bertanya kepada mereka semua, “Siapakah yang akan kalian pilih dari kedua orang ini untuk menjadi khalifah bagi kalian?”
Di luar dugaan, Umar menarik tangannya dan berkata, “Demi
Allah, selama Abu Bakar ada di sampingku, tidak ada yang berhak untuk menjadi
khalifah selain daripadanya.”
Setelah mengatakan hal itu, Umar bin Khaththab pun lalu
berkata kepada Abu Bakar, “Ya Abu Bakar ulurkanlah tanganmu.”
Entah disadari atau tidak, Abu Bakar mengulurkan tangannya
yang lalu segera diraih oleh Umar bin Khaththab sambil berkata “Baya’tuka ‘ala sam’i wa tha’at (aku
menjual diriku kepadamu untuk mendengar dan taat.”
Setelah melakukan hal itu, sahabat Umar berbalik kepada kaum
Anshar dari Banu Sa’adah tersebut dan bukan meminta persetujuan kepada mereka
atas apa yang telah dia lakukan, tetapi justru malah menyeru mereka dengan
tegas “Berdirilah kalian untuk membaeat Abu Bakar!”
Banu Sa’adah tentu saja terkesima dengan apa yang telah
dilakukan oleh Umar bin khaththab dan juga dengan seruannya. Akan tetapi,
sesuatu yang tidak akan terjadi dalam sistem politik pun terjadi di sakifah Banu
Sa’adah, yaitu kabilah Banu Sa’adah yang semula bersikeras dengan keinginan
mereka untuk mengangkat pemimpin kabilah mereka, Sa’ad bin Ubadah, menjadi
khalifah akhirnya mengikuti Umar yang hanya seorang diri membaeat Abu Bakar radiyallahu ‘anhu.
No comments:
Post a Comment