Akkaf berkata, “Tidak, ya Rasulullah.”
Beliau bersabda lagi, “Apakah engkau memiliki
seorang budak wanita?”
Akkaf berkata lagi, “Tidak juga, ya Rasulullah.”
Tradisi masa itu, yang juga diakui oleh syariat
Islam, seorang budak atau sahaya wanita boleh ‘dipergauli’ oleh tuannya. Jika
ia melahirkan seorang anak, maka anaknya dinisbahkan kepada tuannya, yakni
menjadi anak tuannya dan menjadi orang merdeka.
Budak atau sahaya berbeda dengan pembantu atau
pekerja. Hukum yang berlaku saat itu, budak lebih merupakan ‘barang milik’, dan
ia tidak memperoleh gaji atau pembayaran dari pekerjaan yang dilakukan atas
perintah tuannya. Tetapi segala kebutuhan hidupnya menjadi tanggung jawab
tuannya.
Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam menatap Akkaf dengan keheranan, kemudian bersabda,
“Bukankah engkau sehat afiat (maksudnya normal secara seksual) dan kaya?”
Ia berkata, “Benar, ya Rasulullah, Alhamdulillah.”
Maka dengan tegas Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Jika memang demikian,
engkau dari kawannya setan. Jika engkau seorang Nashrani, ikutilah jejak para
pendeta mereka. Tetapi jika engkau dari golongan kami (yakni seorang Muslim)
maka berbuatlah seperti kami, dan sebagian dari sunnahku adalah menikah. Orang
yang sangat jelek adalah orang yang tidak beristri, orang mati yang sangat hina
adalah orang yang tidak beristri. Celakalah engkau, wahai Akkaf! Menikahlah
segera!”
Mendengar ‘teguran’ yang begitu kerasnya, Akkaf
langsung berkata, “Wahai Rasulullah, nikahkanlah saya dengan siapa pun yang
engkau kehendaki. Saya tidak akan menikah kecuali engkau yang menikahkan saya.”
Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam tersenyum gembira dengan tanggapannya yang begitu cepat
atas anjuran beliau tersebut, dan bersabda, “Aku akan menikahkan engkau atas
nama Allah dan berkah-Nya, dengan Karimah binti Kultsum Al Himyari.”
Akkaf menerima dengan senang hati, dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjabat
tangannya mengucap ijab kabul pernikahannya, dengan disaksikan beberapa sahabat
yang hadir.
Sehubungan dengan menikah ini, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah
bersabda, “Barang siapa mendapat seorang anak, hendaklah ia membaguskan namanya
dan pendidikannya. Dan jika telah mencapai usia baligh, hendaklah ia
menikahkannya. Jika anak itu telah menjadi dewasa dan ia tidak dinikahkan,
kemudian ia berbuat dosa (yakni berzina), maka sebagian dari dosa (zina) itu
ditanggung oleh ayahnya.”
Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam juga pernah berkomentar tentang keengganan kaum wanita
untuk menikah karena tidak mau direpotkan dengan kehamilan dan mengurus
anak-anaknya. Beliau bersabda, “Apakah seorang wanita tidak rela (senang), jika
ia sedang hamil dan suaminya ridha dengannya, maka ia mendapat pahala seperti
orang yang berpuasa dan bangun malam (yakni shalat tahajud) di jalan Allah (fii sabilillah). Kemudian jika ia
melahirkan, maka tidaklah penduduk langit dan bumi mengetahui (betapa besarnya
pahala) yang disediakan oleh Allah untuknya, sesuatu yang sangat memuaskan
pandangan matanya. Setelah melahirkan dan mengeluarkan air susu, kemudian ia
menyusui anaknya, maka untuk setiap teguk atau isapan itu ia memperoleh satu hasanat
(kebaikan). Jika ia bangun malam karena anaknya (menangis atau lainnya), maka
ia mendapat pahala seperti orang yang memerdekakan tujuh puluh orang budak di
jalan Allah (fii sabilillah).”
Sumber: PercikKisah Sahabat
No comments:
Post a Comment